Jakarta, TribunNews — Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Puan Maharani membuka perhelatan Indonesia-Africa Parliamentary Forum (IAPF) yang digelar di Bali.
Dalam acara forum parlemen Indonesia dengan negara-negara Afrika itu, Puan menyinggung sejarah panjang Indonesia-Afrika yang terjalin sejak Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 saat era kepemimpinan Presiden Soekarno.
“Terima kasih atas kehadiran para Pimpinan dan Anggota Parlemen dari negara-negara Afrika pada Indonesia-Africa Parliamentary Forum,” kata Puan di awal sambutannya, Minggu (1/9).
Adapun rangkaian IAPF diselenggarakan sejak 31 Agustus – 2 September 2024 di Bali di mana pembukaan acara pagi ini berlangsung di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua.
Selain Indonesia, acara ini dihadiri oleh delegasi parlemen dari 20 negara di Afrika yang sebagian dipimpin langsung oleh ketua parlemennya.
Beberapa negara Afrika yang hadir itu antara lain dari Algeria, Angola, Benin, Burundi, Djibouti, Eswatini, Ghana, Kenya, Malawi, Mauritius, Morocco, Nigeria, Tanzania, Tunisia, Zimbabwe, Ethiopia, Libya, Mozambique, Somalia, dan South Africa.
Lewat IAPF, Puan mengatakan Indonesia dan negara-negara Afrika memulai babak dan lembaran baru. Ia kemudian menyinggung pelaksanaan KAA di mana Indonesia menjadi salah satu negara pelopornya.
“Tahun 1955, 69 tahun lalu, Konferensi Asia Afrika (KAA) telah menjadi tonggak sejarah untuk memupuk persaudaraan dan solidaritas di antara bangsa-bangsa di Asia dan Afrika,” tuturnya.
KAA yang dibuka oleh Presiden pertama RI Soekarno merupakan sebuah konferensi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan.
“Solidaritas saat itu adalah untuk memperjuangkan kemerdekaan negara-negara di Asia dan Afrika,” tegas Puan.
Berbeda dengan ketika pelaksanaan KAA, Puan mengatakan kondisi saat ini berbeda. “Jika pada tahun 1955, Pemerintah berperan dominan dalam mendorong kerja sama Asia-Afrika, saat ini, tahun 2024, Parlemen merupakan faktor penting untuk mendorong kerja sama kedua benua,” kata Puan.
Menurut Puan, membangun kemitraan antar Parlemen berarti memperluas hubungan Afrika dengan Indonesia menjadi lebih inklusif.
“Artinya juga kita menjangkau hubungan antara masyarakat yang lebih luas,karena Parlemen adalah wakil rakyat,” tegas Puan.
Puan kemudian mengingatkan apa yang disampaikan Presiden Soekarno dalam pidatonya di KAA dengan judul “Unity in Diversity Asia-Africa”. Menurutnya, hal yang disampaikan Bung Karno disebut masih relevan saat ini.
“Bahwa keberagaman dalam budaya, sosial, dan kebangsaan bukanlah faktor pemecah, melainkan sesuatu yang mempersatukan kita,” kata Puan mengutip Soekarno.
Forum Parlemen Indonesia-Afrik ini sendiri akan terdiri dari tiga sesi diskusi yang membahas isu-isu penting. Antara lain kerja sama selatan-selatan untuk kemakmuran dan pembangunan berkelanjutan.
Kemudian, pembangunan komunitas yang tangguh melalui inisiatif kesehatan dan ketahanan pangan, serta pemanfaatan potensi perdagangan dan investasi untuk pertumbuhan ekonomi inklusif.
Puan pun menekankan pentingnya parlemen Indonesia-Afrika memetakan kerja sama ke depan untuk bidang-bidang yang menjadi kepentingan bersama. Apalagi Afrika telah memiliki Agenda 2063: The Africa we Want.
“Agenda ini merupakan cetak biru untuk mentransformasi Afrika menjadi kekuatan utama dunia di masa depan. Indonesia menyampaikan kesiapannya menjadi mitra Afrika, dengan potensi Indonesia menjadi ekonomi ke-4 terbesar di dunia tahun 2050,” sebutnya.
Menurut African Development Bank, Afrika merupakan benua dengan pertumbuhan tertinggi kedua di dunia. Ekonomi Afrika juga diproyeksi tumbuh positif sebesar 3,7% tahun 2024, dan 4.3 % tahun 2025.